Raihlah Jika Kau Mampu

Artha adalah seorang anak orang kaya yang pintar, supel, dan dia mempunyai cita-cita sebagai wartawan seperti ayahnya. Tetapi ada suatu konflik yang membuat Artha marah, benci, kecewa, dengan ayahnya yang kebetulan juga bekerja sebagai wartawan. Berkisah di suatu kota kecil bernama Sudak.. Pak Arthur, panggilan sehari-hari ayah Artha, ditugaskan ke desa Sudak. Sebelumnya Artha ingin ikut untuk menemani ayahnya bekerja, agar Artha tahu seluk-beluk dibalik layar para wartawan. Tapi Pak Arthur tidak mengizinkan Artha untuk ikut. Artha marah besar, Artha membantah habis-habisan. Yang membuat tambah kecewa, ayahnya tidak pernah ada waktu untuk Artha.

“Ayolah, yah, Ayah tahu sendirikan aku ingin seperti Ayah? Menjadi seorang wartawan yang handal dan mahir dalam bersosialisasi. Aku sudah cukup besar untuk bisa menjaga diriku sendiri. Tapi mengapa ayah tidak mengizinkan aku ?” pinta Artha.

“Ahh, kau ini bikin repot ayah tahu tidak? Ayah ini sibuk sekali dan untuk menjadi wartawan itu tidak semudah yang kau pikirkan, Artha!” bantah Ayah.

“Ahh, Ayah tidak pernah mengerti perasaanku. Memangnya ayah maunya aku jadi apa?”

“Anak yang manis, sopan, dan patuh terhadap orang tua.”

“Ayolah yah! Aku ikut boleh tidak?”

“Tidak!” bantah ayah dengan kasar.

“Aish…” sambil pergi menuju kamar dia mengeluh marah. Hingga pintu kamar ditutup dengan keras.

“Janganlah kau seperti anak kecil, kau harus sudah dewasa dalam menerima ini semua, Ayah pergi dulu, jaga rumah.”

“TERSERAH” bantah Artha dengan kesal.

Di dalam kamar ia tertidur lelap, tanpa disadari dalam tidurnya itu ia bermimpi yang sangat aneh. Dia bermimpi tentang ayahnya yang tega meninggalkan anaknya-Artha- pergi ke USA, tepatnya di Los Angles untuk tugas wartawan tanpa sama sekali mempedulikan niat sang anak. Di saat ayahnya mau berangkat dia ditinggal tanpa pamit atau mencium kedua pipi mungilnya sebagai ucapan selamat tinggal. Dirumah Artha, Artha hanya duduk termenung dengan pikiran sedikit melamun. Tiba-tiba datanglah seorang wanita paruh baya, dia cantik nan lembut. Duduklah sang wanita itu disamping Artha. Dia berbicara dengan sangat bijak layaknya seorang ibu yang menasihati anaknya.

“Jika kau ingin mengambil seikat rumput di padang bukit, ambilah! Jika ada lumpur dihadapanmu, lewatilah! Sesungguhnya ada kebahagiaan dibalik perjuangan, dan ada penyesalan di balik keterpasrahan.” ucap wanita itu.

“Maksudmu apa?” tanya Artha dengan wajah yang sangat terheran.

Diulangilah kata-kata wanita tadi. Tetapi Artha masih saja bingung maksud dalam kata-kata itu.

“Mengapa aku harus datang ke sini?” tanya wanita itu dengan lembut.

“Mana aku tahu, kau tiba-tiba datnag mendekatiku!” jawab Artha dengan wajah lugu nan polos.

“Karena aku ingin membuatmu bangkit dari keterpurukan ini. Resapilah kata-kata yang tadi aku ucap. Jikalau kau sudah menemukan makna dari kalimat-kalimat tadi. Lakukanlah!”

“Bagaimana aku bisa melakukannya? Sedangkan aku saja masih tidak tahu apa maksut dari kalimat-kalimat anehmu tadi?”

“Jangan pernah kau mengatakan itu sulit sebelum kau mencoba, dan jangan kau mengatakan itu aneh sebelum rau merasakan.” Ucap wanita itu dengan sangat bijak.

Dengan langkah pasti, wanita itu perlahan-lahan menjauhi Artha yang sedang duduk menyendiri. Dengan meninggalkan sepatah kata “Renungilah” dia tiba-tiba menghilang.

Jam beker berbunyi, membangunkan tidur lelap Artha. Sudah puluk 15.00 WIB, dia teringat ada janji kerja kelompok dengan teman-temannya di rumah Dhila. Setelah rapi dan menata buku untuk nanti kerja kelompok, dia menatap kearah cermin yang berada tepat di depannya. Sembari menatap mata kosong nan masih bingung memikirkan arti petuah tadi.

Tersadarlah ia dari lamunannya, suara dari luar rumah memanggil-manggil namanya. Ternyata itu teman-temannya, ada Donni, Putri, Shinta, Rudin, dan Ikhsan. Segera ia bergegas keluar rumah, tak lupa pula ia mengunci pintu rumah.

Selama perjalanan Artha masih termenung melamun. Masih sama yang ia pikirkan, tentang arti petuah tadi di mimpinya. Putri mengagetkan Artha, sehingga lamunan yang telah ia bangun runtuh seketika.

“Diieerr, hayo nglamunin siapa?” teriak Putri.

“Ah, kau ini mengagetkanku saja. Aku tidak memikirkan siapa-siapa kok.”

“Tidak mungkin, nyatanya dari tadi kami asyik ngobrol kamu diam saja. Dan saat Shinta bertanya kepadamu kamu cuma diam saja, kalau tidak sedang memikirkan sesuatu alias melamun, lantas apa?”

“Aku sedang bingung dengan mimpiku tadi.”

“Memangnya kamu tadi mimpi apa?” tanya Rudin.

“Aku tadi mimpi ayahku meninggalkan aku ke Los Angles, USA. Dan aku sendiri di rumah. Tiba-tiba datang seorang wanita paruh baya yang cantik dan lembut. Dia berkata padaku  Jika kau ingin mengambil seikat rumput di padang bukit, ambilah! Jika ada lumpur dihadapanmu, lewatilah! Sesungguhnya ada kebaagiaan dibalik perjuangan, dan ada penyesalan di balik keterpasrahan.

“Sepertinya aku tahu yang dimaksut.” ucap Rudin.

“Apa? Tolong bantu aku menemukan arti petuah itu!” pinta Artha

“Sebentar kamu punya cita-cita sebagai wartawan bukan? Seperti pekerjaan ayahmu?”

“Iya, tapi akhir-akhir ini aku mengurungkan niatku, karena ayahku sam sekali tidak mempedulikan keinginanku itu.”

“Nah itulah mengapa wanita itu berkata kepadamu demikian. Karena jika kamu mau simak kata demi kata, kalimat demi kalimat kamu akan mengerti. Dari kalimat pertama ia menyebutkan Jika kau ingin mengambil seikat rumput di padang bukit, ambilah! Itu bermakna jika kamu ingin menjadi wartawan yang hebat, maka lakukanlah, sebagaimana keinginan kamu itu diibaratkan sebagai rumput.”

“oo,..” ucap teman-teman serentak.

“kalimat kedua berbunyi apa?”

Jika ada lumpur dihadapanmu, lewatilah!

“itu bermakna lumpur itu ayahmu, maka jika ada lumpur kebanyakan orang tidak mau melewati. Tapi kalau itu demi mencapai apa yang kamu inginkan, lakukanlah, walaupun itu membuat kamu kotor.”

“Wah hebat sekali kamu, Din!” puji Ikhsan.

“Sudahlah, kalimat selanjutnya?”

Sesungguhnya ada kebaagiaan dibalik perjuangan

“Kalau kamu ingin berjuang dengan keras, maka pasti ada kebahagiaan di akhir perjuangan. Selanjutnya?”

dan ada penyesalan di balik keterpasrahan

“Dan diakhir dari kepasrahanmu, tanpa adanya perjuangan pasti penyesalan yang akan kamu dapati. Kamu sudah mengerti?”

“Jadi maksut dari wanita itu, ingin memnbuat aku bangkit dari keterpuruanku selama ini?”

“Mungkin itu bisa.”

“Terima kasih ya teman-teman. Kalian sudah membantuku dalam menemukan arti dari petuah itu.”

“Ah, tidak apa-apa. Kita ini kan teman seperjuangan.” ucap Donni.

Dan terungkaplah sudah misteri mimpi Artha tersebut. Dan di dalam diri Artha, ia berjanji akan berusaha sekuat mungkin untuk bisa mewujudkan impiannya dan membuktikan kepada ayahnya kalau dia itu tidak selemah yang ia kira.

 

 

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Followers


Recent Comments